Oleh: Dwi Widiastutik, S.Pd
Guru SD Negeri 02 Krendowahono
Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar
Kurikulum merdeka adalah kurikulum baru pengganti kurikulum 2013 yang sudah berlangsung hampir satu dekade. Kurikulum yang berganti – ganti tidak lain memiliki tujuan untuk perbaikan terhadap kurikulum sebelumnya (Sumarsih et al., 2022). Peralihan dari kurikulum 2013 ke kurikulum merdeka membutuhkan waktu yang cukup lama dengan dibentuknya sekolah penggerak sebagai permodelan pembelajaran dengan kurikulum baru. Kurikulum merdeka memiliki ciri khas yang berbeda dengan kurikulum yang lalu, mulai dari proses pembelajaran hingga asesmen yang diterapkan dalam pembelajaran. Selain itu, sekolah tidak lagi dituntut untuk menyelesaikan banyak materi sekaligus dalam satu semester. Sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan keadaan sekolah dan siswa disetiap sekolah. Selama ini guru memiliki kesulitan mengajar dengan tuntutan menuntaskan konten sehingga terjebak pada cara mengajar satu arah, selain itu siswa juga memiliki kesulitan karena dituntut mempelajari banyak konten sekaligus dalam satu semester sehingga tidak dapat memaknai pembelajaran dengan sebagaimana mestinya.
Di sisi lain, penerapan pembelajaran terbaru dengan kurikulum merdeka masih butuh penyesuaian dalam berbagai aspek. (Sumarsih et al., 2022) Beberapa hal yang kemungkinan menjadi kesulitan awal ketika menerapkan Kurikulum merdeka:
- Melatih guru dalam mengawali proses pembelajaran dengan paradigma terbaru
- Menyiapkan administrasi pembelajaran yang sesuai dengan pedoman kurikulum terbaru
- Menyinkronkan aplikasi e-Raport terbaru yang memiliki perbedaan dengan kurikulum 2013
- Mengubah mindset guru, tenaga pendidik, peserta didik serta wali murid dalam pelaksanaan proses belajar yang berpusat pada siswa
Aspek lain yang seharusnya penting untuk diperhitungkan adalah terbentuknya sekolah inklusi tanpa disadari.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Kurangnya deteksi terhadap jenis disabilitas siswa menyebabkan siswa tidak belajar dalam lingkungan yang sesuai. Jenis disabilitas yang sering tidak dianggap sesuatu hal yang serius adalah disabilitas intelektual. Siswa dengan disabilitas intelektual adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup dan bekerja. Salah satu keterbatasan tersebut antara lain kesulitan dalam komunikasi dasar, merawat diri, keterampilan sosial dan pengarahan diri (Retnaningsih & Hidayat, 2012).
Salah satu bentuk disabilitas yang sangat sering tidak disadari dan tidak terlihat adalah disabilitas intelektual (Kristiyanti, 2019). Siswa dengan disabilitas intelektual sering dianggap sebagai seorang yang “pendiam“ dan tidak memerlukan perlakuan khusus dalam belajar. Pemikiran seperti ini harus diubah, bahwa mereka, siswa dengan disabilitas intelektual layak untuk mendapatkan pendidikan dan treatment yang sesuai dengan keterbatasan yang mereka alami agar makna belajar dapat tersampaikan dengan baik.
Namun yang terjadi saat ini adalah adanya siswa dengan disabilitas intelektual yang belajar di sekolah umum, dimana sekolah tersebut tidak membuka kelas inklusi dan tidak adanya keterampilan guru untuk memahami dan memberi perlakuan yang sesuai keterbatasan mereka.
Mengerucut pada sekolah dengan keterbatasan sarana dan prasarana terutama tingkat sekolah dasar di daerah dengan lingkungan pendidikan rendah. Orang tua murid tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran mengenai disabilitas intelektual. Terlebih Sekolah Dasar menjadi tempat pertama bagi mereka untuk memahami lingkungan luar selain rumah dan keluarga. Dalam hal ini guru dituntut untuk menyadari lebih awal dan memberi perlakuan yang sesuai. Namun, disisi lain tidak semua guru mendapatkan pelatihan dan pengetahuan mengenai bagaimana penanganan terbaik untuk siswa dengan disablitias intelektual. Apalagi sekolah yang memang tidak membuka kelas inklusi dan ditambah dengan sekolah dari daerah pelosok desa yang minim akan jumlah tenaga pengajar, fasilitas, sarana dan prasarana. Kebijakan pemerintah yang hadir selayaknya terkait dengan kurikulum yang dipergunakan dan penyedia guru pendamping bagi siswa penyandang disabilitas intelektual akan mendorong peningkatan potensi mereka (Kristiyanti, 2019). Peserta didik dengan disabilitas intelektual tidak dapat diberikan perlakuan yang sama dengan siswa reguler lainnya.
Hal ini menjadi tantangan kembali bagi guru dalam penerapan kurikulum merdeka dimana guru harus memfasilitasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran dan juga dalam kegiatan proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Kegiatan proyek penguatan profil pelajar Pancasila ini memerlukan peran aktif siswa dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan dan salah satu point pentingnya adalah komunikasi antara sesama siswa maupun antara siswa dan guru pengampu. Tantangan guru saat ini, dengan adanya kurikulum merdeka adalah bagaimana menerapkan poin – poin pedoman penyelenggaraan pendidikan sesuai kurikulum terbaru dengan adanya keterbatan komunikasi, dimana kemampuan komunikasi menjadi dasar keberhasilan proses belajar (Salamah, 2022).
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bagaimana guru, wali murid, teman sepermainan serta masyarakat dapat menerapkan adab atau perlakuan yang sesuai bagi siswa dengan disabilitas intelektual. Adab yang harus dilakukan ketika menghadapi siswa dengan disabilitas intelektual adalah meluangkan lebih banyak waktu, sabar dan memberikan perhatian penuh untuk membangun kepercayaan dalam berkomunikasi. Selain itu, kebijakan pemerintah sudah selayaknya memperhitungkan bagaimana perlakuan terbaik bagi siswa dengan disabilitas intelektual di Sekolah, sehingga potensi siswa dapat berkembang dan mampu tumbuh serta berkarir sesuai dengan harapan.